Krisis Ambalat : Apa yang harus kita lakukan? Diplomasi atau Aksi?
Posted On 10 Juni 2009 at di 15.36 by creative addictAda kejadian menarik beberapa hari ini yang sedikit mengusik pikiran saya. Diantara hingar bingar persiapan Pemilu Capres yang ditandai dengan dimulainya masa kampanye, saya sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat merasa sangat terganggu setelah melihat tayangan - tayangan di televisi maupun berita - berita di Internet tentang pelanggaran militer Malaysia yang beberapa kali melakukan provokasi kepada TNI AL di wilayah perairan Ambalat. Rasa Nasionalisme yang selama ini saya akui 'tertidur', kini mulai bangkit dan menggelora. Saya merasa tidak rela dengan ulah dari tentara Malaysia yang melecehkan harga diri kita sebagai bangsa ini.
Memang bukan hal baru apabila tentara Malaysia melanggar batas negara dan memasuki wilayah perairan kita yang berdaulat ini. Sudah sangat sering kita mendapati bukan hanya militer, tapi banyak juga kapal nelayan yang dengan leluasa menjarah kekayaan laut kita. Namun yang memicu kekesalan saya adalah, ketika saya mengingat bagaimana kita kehilangan salah satu wilayah NKRI dalam Mahkamah Internasional beberapa waktu yang lalu. Ketika berseteru dengan Malaysia mengenai Simpadan dan Ligitan, kita mencoba menyelesaikannya dengan diplomasi damai. Namun, apa yang terjadi? Ibu pertiwi kembali kehilangan hak atas wilayah tersebut.
Kita adalah bangsa yang sangat cinta damai. Pemimpin kita seringkali berlaku sebagai 'pemadam kebakaran' ketika banyak elemen masyarakat yang menyatakan gerah atas polah tingkah Negeri Jiran itu. Berbagai macam alasan dikemukakan oleh pemimpin kita untuk meredam gelora patriotisme tersebut. Mulai dari alasan anggaran, Pembukaan UUD, hingga kepada masalah Ekonomi dan Kemanusiaan. Seringkali juga saya berpikir, apakah karena kita dikenal dunia sebagai bangsa yang cinta damai dan dikukuhkan beberapa waktu lalu sebagai bangsa yang paling murah senyum, lantas bangsa lain bisa sewenang - wenang terhadap martabat bangsa ini?
Kasus Manohara adalah bagian kecil dari sedikit contoh bagaimana Warga Negara Indonesia diperlakukan dengan semena - mena oleh orang asing. Namun, saya tidak ingin kasus Manohara ini kita jadikan pemicu untuk menyulut kebencian kita terhadap bangsa jiran itu. Bagi saya, kasus Manohara adalah urusan Rumah Tangga yang tidak seharusnya negara dan media mengekspose dengan begitu luar biasa. Bagi saya, Manohara tidak lebih penting daripada TKI yang banyak disiksa, diperkosa bahkan dibunuh di negeri seberang itu. Kenapa kita tidak pernah peduli terhadap nasib mereka? Ketika Manohara menceritakan siksaan yang dilakukan suaminya, kita beramai - ramai berempati kepadanya. Tapi apa yang terjadi ketika kita mendapati seorang TKW yang penuh dengan bukti - bukti penyiksaan dan kekerasan fisik, apa yang kita lakukan? Adakah ekspose yang besar dari media? TIDAK!
Kasus David Hartanto, Mahasiswa Indonesia yang meninggal di Singapura? Apa yang terjadi? Kalau kasus Manohara diekspose dengan alasan bahwa dia adalah seorang model yang dianggap sebagai selebritis, bagaimana dengan David? David adalah salah satu aset bangsa. David Hartanto pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional. Pada tahun 2004, David menjadi salah satu peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan tahun 2005 mengikuti Olimpiade Matematika Internasional (IMO) di Meksiko. Bagaimana perbedaan sikap pemerintah dan media dalam kedua kasus ini, sungguh sangat memaksa saya berpikir begitu keras, yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar " Apakah status sosial dan tingkat popularitas seorang Warga Negara berpengaruh kepada hak - haknya sebagai Warga Negara ? "
Tapi baiklah, dalam tulisan ini, saya tidak hendak membahas bagaimana perlakukan pemerintah kita dan media terhadap hak - hak warga negara kita yang dilanggar di negeri asing. Saya disini ingin mengungkapkan kekesalan saya terhadap sikap asing yang sudah sangat keterlaluan. Semalam, ketika mencermati sebuah tayangan di TV One yang mengulas tentang program dan pikiran para Cawapres, saya menemukan suatu hal yang menarik. Ketiga kandidat yang sedang berkompetisi menemukan satu kata sepakat bahwa "Sejengkal Tanah pun harus kita pertahankan demi keutuhan NKRI"
Dari kesepakatan ketiga tim sukses yang pasti juga merupakan pemikiran para Capres tersebut, saya menemukan sesuatu yang bertolak belakang. Apabila benar bahwa " Sejengkal Tanah " bagian NKRI akan kita pertahankan, bagaimana sikap kita terhadap kelakuan militer asing yang menginjak - injak harga diri kita di Ambalat? Haruskah kita berdiam diri? Haruskah kita menunggu ada aksi yang lebih ekstrim dari militer asing dulu, baru kita bertindak?
Sudah saatnya pemerintah kita mengambil sikap yang lebih tegas terhadap kejadian - kejadian seperti ini. Bukan berarti saya tidak mendukung strategi pemerintah dalam berdiplomasi, tapi menurut saya, ketika Diplomasi dengan cara anggun dan elegan tidak dapat menyelesaikan masalah, sudah saatnya Diplomasi harus Disertai dengan Aksi.
Memang bukan hal baru apabila tentara Malaysia melanggar batas negara dan memasuki wilayah perairan kita yang berdaulat ini. Sudah sangat sering kita mendapati bukan hanya militer, tapi banyak juga kapal nelayan yang dengan leluasa menjarah kekayaan laut kita. Namun yang memicu kekesalan saya adalah, ketika saya mengingat bagaimana kita kehilangan salah satu wilayah NKRI dalam Mahkamah Internasional beberapa waktu yang lalu. Ketika berseteru dengan Malaysia mengenai Simpadan dan Ligitan, kita mencoba menyelesaikannya dengan diplomasi damai. Namun, apa yang terjadi? Ibu pertiwi kembali kehilangan hak atas wilayah tersebut.
Kita adalah bangsa yang sangat cinta damai. Pemimpin kita seringkali berlaku sebagai 'pemadam kebakaran' ketika banyak elemen masyarakat yang menyatakan gerah atas polah tingkah Negeri Jiran itu. Berbagai macam alasan dikemukakan oleh pemimpin kita untuk meredam gelora patriotisme tersebut. Mulai dari alasan anggaran, Pembukaan UUD, hingga kepada masalah Ekonomi dan Kemanusiaan. Seringkali juga saya berpikir, apakah karena kita dikenal dunia sebagai bangsa yang cinta damai dan dikukuhkan beberapa waktu lalu sebagai bangsa yang paling murah senyum, lantas bangsa lain bisa sewenang - wenang terhadap martabat bangsa ini?
Kasus Manohara adalah bagian kecil dari sedikit contoh bagaimana Warga Negara Indonesia diperlakukan dengan semena - mena oleh orang asing. Namun, saya tidak ingin kasus Manohara ini kita jadikan pemicu untuk menyulut kebencian kita terhadap bangsa jiran itu. Bagi saya, kasus Manohara adalah urusan Rumah Tangga yang tidak seharusnya negara dan media mengekspose dengan begitu luar biasa. Bagi saya, Manohara tidak lebih penting daripada TKI yang banyak disiksa, diperkosa bahkan dibunuh di negeri seberang itu. Kenapa kita tidak pernah peduli terhadap nasib mereka? Ketika Manohara menceritakan siksaan yang dilakukan suaminya, kita beramai - ramai berempati kepadanya. Tapi apa yang terjadi ketika kita mendapati seorang TKW yang penuh dengan bukti - bukti penyiksaan dan kekerasan fisik, apa yang kita lakukan? Adakah ekspose yang besar dari media? TIDAK!
Kasus David Hartanto, Mahasiswa Indonesia yang meninggal di Singapura? Apa yang terjadi? Kalau kasus Manohara diekspose dengan alasan bahwa dia adalah seorang model yang dianggap sebagai selebritis, bagaimana dengan David? David adalah salah satu aset bangsa. David Hartanto pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional. Pada tahun 2004, David menjadi salah satu peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan tahun 2005 mengikuti Olimpiade Matematika Internasional (IMO) di Meksiko. Bagaimana perbedaan sikap pemerintah dan media dalam kedua kasus ini, sungguh sangat memaksa saya berpikir begitu keras, yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar " Apakah status sosial dan tingkat popularitas seorang Warga Negara berpengaruh kepada hak - haknya sebagai Warga Negara ? "
Tapi baiklah, dalam tulisan ini, saya tidak hendak membahas bagaimana perlakukan pemerintah kita dan media terhadap hak - hak warga negara kita yang dilanggar di negeri asing. Saya disini ingin mengungkapkan kekesalan saya terhadap sikap asing yang sudah sangat keterlaluan. Semalam, ketika mencermati sebuah tayangan di TV One yang mengulas tentang program dan pikiran para Cawapres, saya menemukan suatu hal yang menarik. Ketiga kandidat yang sedang berkompetisi menemukan satu kata sepakat bahwa "Sejengkal Tanah pun harus kita pertahankan demi keutuhan NKRI"
Dari kesepakatan ketiga tim sukses yang pasti juga merupakan pemikiran para Capres tersebut, saya menemukan sesuatu yang bertolak belakang. Apabila benar bahwa " Sejengkal Tanah " bagian NKRI akan kita pertahankan, bagaimana sikap kita terhadap kelakuan militer asing yang menginjak - injak harga diri kita di Ambalat? Haruskah kita berdiam diri? Haruskah kita menunggu ada aksi yang lebih ekstrim dari militer asing dulu, baru kita bertindak?
Sudah saatnya pemerintah kita mengambil sikap yang lebih tegas terhadap kejadian - kejadian seperti ini. Bukan berarti saya tidak mendukung strategi pemerintah dalam berdiplomasi, tapi menurut saya, ketika Diplomasi dengan cara anggun dan elegan tidak dapat menyelesaikan masalah, sudah saatnya Diplomasi harus Disertai dengan Aksi.